Menikmati Toraja dengan Bacpacker





Perwakilan Bus Metro Permai Makassar




Reputasi Toraja sebagai tempat wisata menarik minat penulis untuk berkunjung. Akhirnya pada tanggal 9-12 September 2016 penulis berkesempatan mengunjungi Toraja. Perjalanan dimulai dari terminal bus Simbuang Mamuju. Dari terminal Simbuang Perjalanan Mamuju-Toraja tidak dapat ditempuh dalam sekali perjalanan, melainkan harus singgah di kota Makassar. Sebenarnya terdapat bus yang langsung menuju Toraja, akan tetapi kondisinya tergolong memprihatinkan sehingga penulis lebih memilih untuk singgah terlebih dahulu ke Makassar. Penulis sampai di agen bus PO Metro Permai di jalan Perintis Kemerdekaan Makassar pukul 05.00.  Penulis sebelumnya sudah terlebih dahulu memesan tiket bus Metro Permai jurusan Makassar-Toraja jam keberangkatan pukul 9.00 WITA. 

Ruas jalan Pare-Pare - Enrekang
Bus mengalami masalah ban belakang
Bus mengalami masalah pada ban belakang
Perjalanan menuju Toraja melalui berbagai medan jalan. Jalur Makassar sampai dengan Pare-Pare ramai dengan ruas jalan yang lebar sebagaimana jalanan Antar Kota di pulau Jawa. Perjalanan mulai berkelok dan menanjak dengan jalur yang sempit selepas bus melewati kota Pare-Pare dan masuk wilayah kabupaten Enrekang. Saat berada di perbukitan Kabupaten Enrekang ini bus sempat mengalami masalah pada ban belakang sehingga perjalanan sempat  terhenti selama satu jam. Perjalanan kemudian dilanjutkan hingga sampai di kota Rantepao selepas Maghrib


Kamar hotel Pison
Destinasi wisata Toraja sendiri terdiri dari dua Kabupaten yaitu Kabupaten Tana Toraja dengan ibukota Makale dan Kabupaten Toraja Utara dengan ibukota Rantepao. Selama berada di Toraja, penulis menginap di hotel Pison kota Rantepao. Kota Rantepao dipilih karena relatif lebih ramai dibandingkan kota Makale. Tarif hotel yang ditawarkan cukup bersahabat bagi turis yang ingin melakukan perjalanan backpacker yaitu Rp 150.000,00 per malam. Kamar cukup bersih dengan kamar mandi dalam tetapi tidak ada fasilitas pendingin udara di sini. Pengunjung lebih disarankan untuk memesan kamar yang memiliki fasilitas air hangat, karena suhu udara relatif dingin. Namun, umumnya kamar hotel dengan fasilitas air hangat relatif lebih mahal. Di hotel ini juga disewakan sepeda motor dengan tarif Rp 80.000,00 per hari sehingga pengunjung tidak perlu repot apabila hendak bepergian. Jarak hotel dengan pusat kota memang dekat dan bagi umat muslim di kota terdapat berbagai warung makan dengan pilihan makanan halal seperti sari laut.


Kete Kesu


Rumah Adat Tongkonan 
Destinasi wisata pertama yang penulis kunjungi adalah Kete-Kesu. Kete kesu merupakan rumah adat dan kompleks kuburan batu purba yang berusia lebih dari 500 tahun. Kete Kesu berjarak kurang lebih 4 Km dari kota Rantepao yaitu ke arah kota Makale dengan jarak tempuh kurang dari 30 menit dengan sepeda motor. Di Kete Kesu terdapat rumah adat khas Toraja, yaitu tongkonan. Selain itu terdapat juga makam adat dengan menaiki beberapa anak tangga. Di dekat anak tangga, terdapat  seekor kerbau milik penduduk setempat yang diikat di dekat tangga. Harga kerbau itu sendiri menurut pemilik mencapai Rp 100.000.000,00. Kerbau atau dalam bahasa setempat disebut tedong memegang peranan penting, seperti tenaga pembajak sawah, ritual kepercayaan, sampai ukuran status sosial masyarakat setempat. Sebelum pintu masuk goa makam terdapat beberapa tengkorak dan peti jenazah yang dimakamkan di sini. Nuansa seram cukup terasa apalagi saat itu belum ada pengunjung lain ditambah beberapa batang rokok dan uang receh sebagai sesaji. Namun, suasana seram perlahan menghilang seiring makin siangnya hari dan bertambahnya pengunjung.  
Tangga menuju goa makam

Kerbau Penduduk

Tengkorak manusia di mulut goa makam
























































Lemo
Destinasi wisata berikutnya yaitu kuburan tebing batu Lemo. Lemo terletak di Kabupaten Tana Toraja, jarak antara Lemo dengan Kete-Kesu juga tidak terlalu jauh, kembali ke arah jalan Rantepao-Makale kemudian lihat papan nama objek wisata. Objek wisata Lemo merupakan makam yang berada di tebing, dimana peti mati jenazah dibuatkan semacam lorong yang dipahat di atas tebing batu. Pembuatan lorong ini konon memakan biaya yang tidak sedikit. Lorong makam di bagian depan komplek ini dilengkapi dengan patung kayu tradisional (tau-tau) Selain komplek makam di bagian depan, terdapat juga beberapa lorong makam di bukit bagian belakang dengan menelusuri jalan setapak yang dikelilingi persawahan. Berbeda dengan lorong makam di bagian depan, lorong makam di sini tidak terdapat patung kayu (tau-tau). Selepas melihat kompleks makam tebing, penulis mengunjungi tempat pembuatan patung kayu tradisional (tau-tau) dari penduduk setempat. Patung kayu yang penulis lihat merupakan gambaran dari seorang wanita yang tampak sedang menumbuk.
Sisi belakang kompleks Lemo














Patung Tau-Tau















Londa

Londa tampak depan
Destinasi wisata ketiga adalah komplek pemakaman Londa. Londa juga merupakan kompleks pemakaman goa. Dari depan tampak banyak patung-patung yang merupakan penggambaran dari orang yang dimakamkan di sini. Berbeda dari goa di Kete-Kesu, goa makam di Londa relatif lebih gelap sehingga diperlukan penerangan. Beberapa penduduk setempat menawarkan jasa penerangan lampu petromaks sekaligus pemandu bagi turis yang hendak masuk. Penulis turut masuk ke dalam goa bersama rombongan turis dari Papua. Di dalam goa dijumpai beberapa tengkorak dan peti mati. Suasana seram lebih terasa di sini karena memang goa tidak terkena cahaya matahari dan lembab. Ada sebuah peti mati yang menarik perhatian penulis. Berdasarkan keterangan dari pemandu, jenazah di peti mati tersebut menyimpan sebuah cerita cinta yang tragis. Dikisahkan pemuda setempat menjalin hubungan terlarang dengan seorang gadis yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Dalam adat setempat seorang sepupu dekat masih dianggap saudara kandung sehingga hubungan mereka tergolong cinta terlarang. Kedua insan tersebut akhirnya mengakhiri kisah asmara mereka dengan tragis, yaitu bunuh diri
Suasana dalam goa makam Londa
.




























Salah satu peti jenazah















Destinasi wisata keempat yaitu objek wisata desa di atas awan Lolai terpaksa dibatalkan,karena informasi yang penulis terima lokasi tersebut sedang sangat ramai oleh pengunjung. Pada kunjungan ke Toraja kali ini penulis juga belum menemukan berbagai ritual-ritual yang sudah terkenal di Toraja seperti pesta kematian (rambu solo) yang lebih identik dengan kemeriahan daripada rasa kedukaan maupun upacara penggantian baju jenazah (manene) yang penuh dengan nuansa mistis. Berdasarkan informasi yang penulis himpun dari masyarakat sekitar, ritual-ritual tersebut tidak diumumkan secara terbuka, akan tetapi hanya menyebar dari mulut kemulut. Namun, ada juga waktu-waktu tertentu dimana Toraja ramai oleh pengunjung yaitu di bulan Desember yang dikenal sebagai Lovely December. Lovely December merupakan program promosi pemerintah daerah untuk mempromosikan wisata Toraja dengan acara seni seperti budaya dan atraksi rakyat

Hari ketiga, senin 12 September 2016 bertepatan dengan hari Raya Idul Adha penulis melaksanakan sholat ied di Masjid Raya kota Rantepao. Kerukunan dan toleransi umat beragama di sini berjalan dengan baik. Selepas sholat ied penulis check out dari hotel menuju agen bus PO Metro Permai di jalan Andi Mappanyukki Rantepao untuk kembali ke Makassar. Bus tiba di Makassar menjelang Magrib, kemudian turun di agen Bus Litha & Co di jalan Urip Sumoharjo Makassar.  Perjalanan kemudian dilanjutkan untuk kembali ke kota Mamuju.
Masjid Raya Rantepao
 


Rombongan bus Toraja-Makassar beristirahat
Senja memasuki Makassar

Bus Litha & Co Makassar-Mamuju

























Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sensasi Gunung Harta Denpasar Jogja

Efisiensi Raja Jalur Selatan Jateng-DIY

Sejenak Malam Akhir Pekan di Mamuju